[Humas BBSPJIKFK ; 17 September 2023] Pemulihan Lapisan Ozon terjadi 35 Tahun setelah setiap negara di dunia setuju untuk berhenti memproduksi bahan kimia yang merusak Lapisan Ozon di atmosfer, setelah hampir seluruh negara meratifikasi“Protokol Montreal”. Dengan kecepatan pemulihan saat ini, diperkirakan perbaikan sepenuhnya dapat memakan waktu 43 tahun. Laporan penilaian empat tahunan terakhir menegaskan penghapusan hampir 99 Persen dari BPO yang dilarang telah berhasil menjaga Lapisan Ozon. Bahkan, kondisi ini tergambar mengarah ke pemulihan yang nyata Lapisan Ozon di Stratosfer atas dan penurunan paparan sinar Ultraviolet berbahaya (UV-B) dari Matahari. Hingga sekarang, kondisi dari Lapisan Ozon telah menunjukkan adanya perbaikan, ditunjukkan dengan mengecilnya Lubang Ozon dan diharapkan dapat kembali ke posisi semula seperti level Lapisan Ozon di Tahun 1980 pada Tahun 2066.
Namun demikian, kondisi tersebut di atas belum diikuti perubahan iklim yang semakin baik. Perubahan iklim secara global tetap menjadi masalah hingga saat ini meskipun Lapisan Ozon menunjukkan adanya perbaikan. Efek perubahan iklim yang dirasakan di seluruh wilayah Bumi yang paling dirasakan berupa adanya “pemanasan global”, yang dipicu banyaknya emisi “gas rumah kaca” sebagai akibat dari aktivitas manusia terutama penggunaan bahan bakar fosil.
Selain adanya“pemanasan global” yang sudah dirasakan langsung, dampak perubahan iklim diindikasikan menyebabkan gangguan keseimbangan alam dan ekosistem Bumi, yaitu berdasarkan informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akan terjadi dampak dari iklim ekstrem El Nino di Indonesia yang dapat mengurangi curah hujan dan memicu terjadinya kekeringan. Selain itu, pada tahun 2024 mendatang diprediksi akan menjadi Tahun terpanas di dunia.
Fenomena El Nino adalah pola cuaca di mana perairan hangat berada di lepas pantai Pasifik Amerika Selatan, yang sering kali menyebabkan suhu global lebih hangat dan kejadian cuaca ekstrem. Gelombang panas, kebakaran, dan banjir kemungkinan akan meningkat seiring dengan berkembangnya kondisi El Nino di wilayah tropis Pasifik untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun.
Kondisi dan ramalan tersebut menunjukkan betapa hebatnya perubahan iklim dimasa-masa akan datang. Hal ini diperkuat dengan adanya Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada Rabu, 6 September 2022, Bumi baru saja mengalami musim panas terpanas dalam sejarah, dimana Bulan Juni hingga Agustus 2023 adalah bulan-bulan terpanas dan merupakan tanda lain bahwa perubahan iklim sedang terjadi. Suhu permukaan laut global memecahkan rekor baru setiap bulan berturut-turut, sementara luas es laut di Antartika masih berada pada rekor terendah sepanjang tahun ini.
Salah satu penyebab timbulnya berbagai fenomena di atas adalah akibat belum efektifnya penanganan pengendalian terhadap perubahan iklim. Emisi “gas rumah kaca” yang dihasilkan masyarakat karena penggunaan bahan bakar fosil dapat jelas sekali terlihat pada data statistik berikut ini. Menurut Laporan Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Energi yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM; Emisi Gas Rumah kaca (GRK) di Indonesia pada Tahun 2018 yaitu 595.959 Gg CO2e dengan penyumbang terbesar merupakan sektor Industri Produsen Energi sebesar 46,37% diikuti oleh sektor Transportasi (36,39%) dan pada posisi ketiga ditempati oleh sektor Industri Manufaktur dan Konstruksi sebesar (17,75%). Sektor lainnya menyumbang sebesar (4,63%). Sedangkan di Tahun 2019, data menunjukkan adanya peningkatan jumlah emisi yaitu sebesar 638,432 Gg CO2e. Urutan terbesar sektor penyumbang emisi GRK masih sama namun terdapat perubahan proporsi antar sektor, jika dilihat pada Tabel di bawah ini terdapat peningkatan proporsi pada sektor Industri Manufaktur dan Konstruksi menjadi 21,46% di tahun 2019 sementara di semua sektor lainnya mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan aktivitas program Industrialisasi dan Pembangunan Indonesia (di sektor Industri Manufaktur dan Konstruksi) yang menyebabkan peningkatan emisi GRK.
Terdapat Indikator lainnya yang menunjukkan program pengendalian dampak dari kontribusi emisi “gas rumah kaca” terhadap “perubahan iklim”masih belum efektif yaitu isu hasil monitor kesehatan udara kota-kota besar dunia yang sangat rendah dimana akhir-akhir ini ramai dibahas dalam Media Publik, yaitu di atas 10 X lipat dari batas ideal kesehatan udara yang dirilis World Health Organization (WHO) pada tahun 2021, ambang batas PM2,5 sebesar 15 mikrogram per meter kubik, adapun standar pemerintah berdasar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 sebesar 55 mikrogram per meter kubik.
Link :
- SELAMAT HARI OZON SEDUNIA : SERTIFIKASI INDUSTRI HIJAU SOLUSI MENGURANGI PERUBAHAN IKLIM UNTUK SELAMATKAN BUMI Bagian 1 : “Lapisan Ozon Semakin Membaik”
- SELAMAT HARI OZON SEDUNIA : SERTIFIKASI INDUSTRI HIJAU SOLUSI MENGURANGI PERUBAHAN IKLIM UNTUK SELAMATKAN BUMI Bagian 3 : “Kontribusi BBSPJIKFK KEMENPERIN Selamatkan Bumi”
- DUKUNG TREND INDUSTRI BERKELANJUTAN KEDEPAN, BALAI KEMENPERIN BBSPJIKFK SIAPKAN LAYANAN SERTIFIKASI HIJAU
·
Saat ini, sedang popular mengukur kesehatan udara menggunakan Skala AQI (Air Quality Index).Skala AQI mengukur tingkat polutan (dengan ukuran tertentu dalam µm = mikrometer) terkandung dalam udara di suatu wilayah yang akan menyebabkan gangguan kesehatan. PM2,5 (Particulate Matter) menunjukkan besarnya ukuran polutan yang di ukur, dalam hal ini diameter partikel udara lebih kecil atau sama dengan diameter 2,5 µm. PM2,5 ini sangat rentan bagi kesehatan manusia, karena akan dengan mudah masuk melalui saluran pernafasan dan diserap tubuh manusia yang lama-kelamaan akan menjadi residu aktif mengganggu kesehatan. Dalam Skala PM2,5 AQI kesehatan udara termasuk dalam klasifikasi baik (Good) bila berada di rentang Skala 0 – 50.
Salah satu kota yang rendah kesehatan udaranya yang menjadi patokan bagi kota-kota besar dunia adalah Ibu Kota NKRI, Jakarta yang tercatat berada pada skor 199 menurut Data KLHL pada Jumat (11/08) lalu, berdasarkan pemantauan harian Air Quality Index. Pada saat itu, kualitas udara di Jakarta tidak hanya menjadi salah satu yang terkotor di dunia tetapi menunjukkan betapa tercemarnya udara. Meskipun, kualitas udara di Jakarta masih lebih baik dari Spanyol yang tercatat pada skor 272, Kanada 273, dan China 262 pada skala AQI PM 2,5. Disamping itu juga, menurut laporan World Air Quality Report dari IQAir, kualitas udara di sejumlah kota besar Indonesia juga tergolong buruk, jauh dari standar ideal yang ditetapkan WHO.
Polutan-polutan yang dihasilkan oleh emisi “gas rumah kaca” bukan hanya berbentuk partikel saja (PM2,5 atau PM10) tetapi juga senyawa-senyawa kuat dan korosif lain yang berbentuk gas-gas, seperti : karbon dioksida (CO2) ; belerang dioksida (SO2) ; nitrogen monoksida (NO) ; nitrogen dioksida (NO2) ; gas metana (CH4) ; dan klorofluorokarb on (CFC) yang jika terlepas akan terperangkap pada Lapisan Troposfer dan akan menahan panas di atmosfer sehingga suhu Bumi akan meningkat yang menyebabkan “pemanasan global”. Berbagai senyawa emisi “gas rumah kaca” itu ternyata dihasilkan dari proses-proses produksi yang dilakukan oleh sektor Industri Manufaktur dan Konstruksi, sebagaimana juga dapat dilihat dari angka-angka pada Tabel di atas yang cukup mengambil andil menghasilkan GRK. (Bersambung ke bagian 3 dari 3). [FS + TBS]
#HariOzonInternasional
#LayananSertifikasiHIjauBBSPJIKFK
#EmisiGasRumahKaca
#PerubahanIklim
#GlobalWarming
#JagaIndustri
#BBKFK_Cekatan