Artikel

Minyak Atsiri Indonesia dan Peluang Pengembangannya

Minyak Atsiri Indonesia dan Peluang Pengembangannya

Penulis: Dwinna Rahmi - Balai Besar Kimia dan Kemasan

Indonesia sebagai negara tropis mempunyai keanekaragaman hayati seperti minyak atsiri (Essential Oil) yang sangat  beragam, banyak manfaat dan dapat digunakan di berbagai bidang industri. Tanaman penghasil minyak atsiri diperkirakan berjumlah 150 – 200 spesies, termasuk famili Pinaceae, Labiateae, Compositae, Lauraceae, Myrtaceae, dan Umbelliferaceae. Minyak  atsiri dapat bersumber pada setiap bagian tanaman yaitu daun, bunga, buah, biji, batang, kulit dan akar atau rhizome. Minyak atsiri adalah zat berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap, minyak eteris, minyak esensial karena pada suhu kamar mudah menguap. Istilah esensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya. 

Dalam keadaan segar dan murni, minyak atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada penyimpanan lama minyak atsiri dapat teroksidasi dan berubah jadi bewarna agak keruh. Untuk mencegahnya, minyak atsiri harus disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta disimpan di tempat yang kering dan sejuk. Cara penyimpanan juga mempengaruhi komposisi dari minyak atsisi tersebut selain perbedaan jenis tanaman penghasil, kondisi iklim, tanah tempat tumbuh, umur panen, metode ekstraksi/isolasi yang digunakan. Pengolahan minyak atsiri Indonesia pada umumnya destilasi. Ekstraksi/isolasi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1) penyulingan (distillation), 2) pengepresan (pressing), 3) ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction), 4) ekstraksi dengan lemak dengan  tergantung jenis tanamannya. Minyak atsiri yang berasal dari cengkeh, nilam, sereh wangi, pala, kayu putih, akar wangi, kenanga, gurjun, jahe, jeruk purut, gaharu, kemukus, lajah gowa dan cendana diambil atsirinya dengan cara destilasi uap sedangkan masoyi, kayu manis dan lada hitam dengan destilasi uap. Minyak sereh dapat dihasilkan 10 kg dari 3 ton sereh wangi. Lain halnya cengkeh, rendemen minyak atsiri dalam daun cengkeh sebetulnya bisa 5 % tapi kenyataan hasil destilasi selama 5 – 6 jam menghasilkan 2 % minyak cengkeh sedangkan untuk tangkai cengkeh menghasilkan 5 % minyak atsiri dalam waktu destilasi 6-8 jam. 

 

Minyak atsiri secara umum digunakan sebagai bahan pengikat (fixatif) dalam pembuatan parfum, pewangi, kosmetika, farmasi, bahan penyedap (flavoring agent) dalam industri makanan dan minuman. Selain itu minyak atsiri juga digunakan sebagi bumbu seperti cengkeh dan kemukus. Hampir semua atsiri bersifat antibakteri. Beberapa atsiri yang dapat digunakan sebagai antiseptik juga punya fungsi yang lebih spesifik seperti minyak sereh terkenal dengan fungsi anti nyamuknya, minyak pala anti-inflammatori, minyak kayu putih sebagai anti iritasi, jahe sebagai stimulan, analgesik, anti radang, minyak jeruk purut sebagai anti depresi dan gaharu sebagai anti rematik. Tren pemakaian produk-produk organik turut mengangkat pamor minyak atsiri terutama produk untuk perawatan tubuh, menambahkan minyak jenis ini memberi keharuman pada produk mereka.Minyak atsiri secara umum digunakan sebagai bahan pengikat (fixatif) dalam pembuatan parfum, pewangi, kosmetika, farmasi, bahan penyedap (flavoring agent) dalam industri makanan dan minuman. Selain itu minyak atsiri juga digunakan sebagi bumbu seperti cengkeh dan kemukus. Hampir semua atsiri bersifat antibakteri. Beberapa atsiri yang dapat digunakan sebagai antiseptik juga punya fungsi yang lebih spesifik seperti minyak sereh terkenal dengan fungsi anti nyamuknya, minyak pala anti-inflammatori, minyak kayu putih sebagai anti iritasi, jahe sebagai stimulan, analgesik, anti radang, minyak jeruk purut sebagai anti depresi dan gaharu sebagai anti rematik. Tren pemakaian produk-produk organik turut mengangkat pamor minyak atsiri terutama produk untuk perawatan tubuh, menambahkan minyak jenis ini memberi keharuman pada produk mereka.

Harga minyak atsiri sangat bervariasi tergantung jenis dan sumbernya. Misalnya minyak cengkeh dimana minyak dari daun cengkeh sekitar Rp. 135.000, tangkai cengkeh sekitar Rp. 150.000-/kg. Minyak nilam antara  Rp. 350.000,- s/d Rp. 600.000,-, minyak melati lebih mahal yaitu mencapai 30 - 90 juta / kg sedangkan minyak bunga mawar lebih lagi yaitu mencapai 70 - 150 jt / kg.  

Pengolahan minyak atsiri dapat dilakukan oleh industri kecil sampai industri besar. Secara umum industri kecil di Indonesia baru dapat melakukan penyuliangan sedangkan pemisahan atau fraksinasi diharapkan dilakukan pada industri besar sehingga dapat dihasilkan minyak atsiri yang menonjolkan kekhasan. Industri minyak atsiri di Indonesia sudah ada sejak jaman penjajahan namun kualitas dan kuantitas tidak jauh berkembang. Hal ini disebabkan karena cara pengolahan yang masih tradisional. Bau khas minyak atsiri ditentukan oleh cara pengolahan sehingga beberapa pembeli menginginkan atsiri yang diolah secara tradisonal seperti destilasi. Untuk mempertahankan kualitas dengan tidak menghilangkan ciri khas beberapa pengusaha mengganti material ketel dari bahan biasa dengan bahan stainless steel.

Selain pasar lokal, permintaan minyak atsiri Indonesia memang lebih banyak datang dari luar negeri. Sejumlah negara di Eropa, seperti Swiss dan Jerman memerlukan minyak atsiri mencapai 5 ton/bulan. Permintaan juga datang dari produsen obat dan kosmetik di Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Asia. Indonesia masih tercatat sebagai salah satu pemasok bahan baku minyak atsiri terbesar dunia, bahkan pernah memasok sampai 90 % minyak atsiri nilam (sekitar 1600 ton/tahun). Dari 150 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar internasional, 40 jenis diantaranya dapat diproduksi di Indonesia, namun baru beberapa yang digunakan secara komersial dan yang memenuhi standar kualitas ekspor baru tersedia 12 jenis saja seperti minyak kayu manis, minyak akar wangi, minyak cendana, minyak kemukus, minyak nilam, minyak kenanga, minyak pala, minyak cengkeh, minyak kayu putih. Hingga saat ini total kapasitas produksi minyak atsiri Indonesia bisa mencapai 5.000 hingga 6.000 ton per tahun dengan jumlah pelaku usaha mencapai 3.000 usaha. Data dari perindustrian mencatat walaupun Indonesia penghasil minyak atsiri terbesar dunia namun jumlah impor produk hilir minyak atsiri dalam bentuk parfum dan perasa makanan mencapai US$ 401 juta. Dibandingkan dengan data ekspor bahan baku atsiri hanya US$ 103 juta. Terjadi defisit tiga sampai empat kali lipat dari ekspor. Bahkan pada tahun 2003-2008 nilai ekspor minyak atsiri Indonesia lebih rendah dari nilai impor produk derivat minyak atsiri. Sebagai gambaran ketimpangan ekspor impor minyak atsiri pada akhir 2007 nilai ekspor minyak atsiri USD101 juta, sedang nilai impor produk hilirnya mencapai USD 389 juta. Kecenderungan itu masih berlanjut hingga saat ini.

Dari data-data di atas terlihat bahwa perkembangan industri minyak atsiri Indonesia belum menggembirakan. Menurut Ketua Dewan Atsiri Indonesia (2015), produksi minyak atsiri Indonesia yang utama adalah daun/gagang cengkeh (clove leaf/stem oil), minyak sereh wangi (citronella oil), minyak nilam (patchouli oil), minyak kayu putih (cajuput oil), dan minyak terpentin (turpentine oil). Menurut Edi Cahyono (Pusat kajian atsiri UNNES) perkembangan industri minyak atsiri Indonesia sangat lambat. Pada zaman penjajahan sampai tahun 1970 minyak atsiri yang diekspor adalah sereh wangi, kenanga, akar wangi dan nilam. Sejak tahun1975 minyak daun cengkeh, minyak cendana, jahe, lada dan pala sudah mulai di eksport, kemudian minyak masoi dari Irian Jaya pada tahun 1990-an.  Uraian diatas memperlihatkan bahwa potensi minyak atsiri Indonesia sangat perlu untuk dikembangkan dengan memberikan nilai tambah melalui peningkatan produksi, peningkatan kualitas dan diversifikasi produk. Ditambah dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang semakin baik akan menjadi tujuan pasar berbagai komoditas termasuk komoditas itu minyak atsiri. Disini peran balai riset terutama dibawah Kemenperin dapat melakukan penelitian untuk membantu memberikan alternatif pemecahan masalah melalui penciptaan nilai tambah (value creation) minyak atsiri. Balai Besar Kimia dan Kemasan adalah salah satu Balai Riset dibawah Kemenperin yang salah satu fokus penelitiannya adalah minyak atsiri dapat lebih berperan dalam mengembangkan minyak atsiri Indonesia. Selain isolasi bahan utama atsiri dalam tanaman selanjutnya transformasinya menjadi fine chemical melalui reaksi kimia berbantuan katalis. Materi penelitian katalisis reaksi organik untuk konversi menjadi senyawa fine chemical dengan kemurnian enansiomer yang tinggi, lalu memproses menjadi solid dengan kristalisasi senyawa produk. Selain kualitas permasalahan terjadi ketika industri tidak mempersiapkan diri dengan pasokan bahan baku yang memadai sehingga tidak dapat memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat. Oleh karena itu pengembangan teknologi tepat guna untuk meningkatkan efektifitas proses produksi dan penjaminan kapasitas produksi yang stabil sangat diperlukan. Salah satu bahan utama dalam minyakn atsiri adalah guaiene. Guaiene merupakan salah satu komponen kimia yang banyak terkandung di dalam berbagai jenis minyak atsiri. Pertama kali di isolasi dari kayu guaiac (bulnesia sarmientoi). Komponen ini memiliki 3 bentuk antara lain α-Guaiene, β-Guaiene dan δ-Guaiene. Penggunaanya pada industri perasa dan aroma lebih banyak untuk menghasilkan sensasi aroma kayu, earthy dan rempah. Pada minyak nilam Indonesia, senyawa ini bertanggung jawab membedakan aroma secara signifikan, antara minyak nilam Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Semakin ke Timur Indonesia, menurut data yang ada, kandungan Guaiene semakin berkurang, sehingga aroma minyak dari TImur cendrung floral tidak woody seperti minyak nilam yang berasal dari Sumatra. Guaiene memiliki sifat anti bakteri dan dapat juga digunakan sebagai penolak serangga. 

Share: